PENGHENTIAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK TERHADAP TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK (SUATU PENELITIAN DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR PIDIE JAYA)
Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagaimana perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Terhadap Pasal 76D tersebut terdapat ancaman pidana yakni dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagaimana perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa bagi setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Namun dalam praktiknya, pada tahun 2021 Penyidik Kepolisian Resor Pidie Jaya telah melakukan penghentian penyidikan terhadap laporan Nomor: SKTBL/ 53/ IX/ RES.1.24./ 2020/ SPKT tanggal 14 September 2020.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan mengkaji faktor-faktor dihentikannya penyidikan tindak pidana persetubuhan terhadap anak di wilayah hukum Kepolisian Resor Pidie Jaya dan untuk mengetahui dan menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi korban persetubuhan terhadap anak yang dilakukan Penghentian Penyidikan oleh Penyidik.
Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata dengan maksud untuk menjelaskan dan menemukan fakta-fakta dan sifat penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan melakukan penelitian lapangan dan kepustakan. Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden dan informan, sedangkan penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah buku bacaan dan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak adalah (1) Tidak terpenuhinya unsur Pasal 76D UU Perlindungan Anak; (2) Kurangnya saksi, tidak adanya saksi yang melihat peristiwa persetubuhan secara langsung; (3) Jangka waktu kejadian yang sudah berlangsung lama; (4) Tidak dapat memastikan alat kelamin siapa yang telah merusak selaput dara korban. Adapun upaya yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi korban persetubuhan terhadap anak dengan dilakukannya penghentian penyidikan adalah menggunakan jalur Praperadilan yang merupakan wewenang pengadilan negeri supaya hakim dapat menilai sah atau tidaknya dilakukan penghentian penyidikan oleh Penyidik Kepolisian Resor Pidie Jaya.
Disarankan Aparat Penegak Hukum (APH) yakni Kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menangani tindak pidana persetubuhan terhadap anak lebih memiliki perspektif kepada anak selaku korban dan terhadap hal itu dapat diselenggarakannya pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek) terhadap para APH khusus anak serta terhadap Jaksa Penuntut Umum yang menjadi penanggung jawab kasus anak dapat mengkatagorikan bahwa kasus persetubuhan terhadap anak adalah kasus dengan kategori berat karena akan menimbulkan dampak dimasa mendatang bukan hanya mengkategorikan suatu kasus menjadi berat apabila sudah viral dikalangan masyarakat terlebih dahulu sehingga tidak terjadi lagi penghentian penyidikan secara unprosedural serta para Aparat Penegak Hukum (APH) dapat melakukan kooordinasi kasus perkara dan menjalin hubungan antara satu sama lain dengan lebih baik selaku aparat penegak hukum (APH) yang bertujuan untuk terciptanya kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum bagi orang-orang yang membutuhkan keadilan.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.