RENCANA TUNTUTAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (SUATU PENELITIAN DALAM WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH) (T000205)
Ketentuan tentang beberapa prosedur yang hams dilalui oleh seorang jaksa penuntut umum yang bertugas menangani suatu perkara pidana, khususnya dalam mengajukan tuntutan pidana terhadap seorang terdakwa menyebabkan jaksa tidak sepenuhnya dapat bekerja secara mandiri dalam mengajukan tuntutan mengingat prinsip kejaksaan yang hams berdasarkan hirarkhi. Kewenangan melakukan penuntutan adalah Jaksa Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa "Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Didalam Pasal 182 KVHAP tidak menyinggung adsnya "kewajiban" penyampaian rentut kepada atasan namun dalam praktek dilakukan prosedur Rentut yang merupakan kebijakan internal kejaksaan. Selain itu, dalam hal percepatan pelayanan dan penyelesai perkara pidana dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana pada Lembaga Kejaksaan juga berpedoman pada ketentuan Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana dan Surat Edaran Jaksa Agung No. SE 003/A/JA/02/2009 tentang Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum Jo Surat Edaran Jaksa Agung No. SE 010/A/JA/12/2010 tentang Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum. Kedua Surat Edaran tersebut pada intinya adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan bagi pencari keadilan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian perkara pidana, faktor penyebab terjadinya hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana.
Untuk memperoleh data daJam penelitian ini digunakan pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan tugas atau kewenangan yang diberikan penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa dalam penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri.
Dalam prakteknya ditemukan bahwa rentut dilakukan secara berjenjang secara heirarkhi baik melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum di Kejari, hingga wakil/Kepala Kejaksaan Tinggi maupun hingga ke Jaksa Agung R.I setelah melalui Seksi Bidang Struktural/tehknis masing-masing. Untuk menentukan tindak pidana umum atau khusus, ini ditentukan pada tingkat Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi. Kebijakan "rencana tuntutan" harus mendapat persetujuan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), atau untuk perkara-perkara tertentu bahkan sampai Jaksa Agung. Adanya rentut berjenjang telah adanya intervensi atasan terhadap suatu perkara yang ditangani jaksa penuntut umum, padahal seharusnya jaksa penuntut harus independen yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan asas contantejustitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan). Hambatan yang dihadapi dalam penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana antara lain keraguan menentukan ancaman pidana, kurangnya atau tidak lengkapnya keterangan saksi, jaksa lamban mempersiapkan tuntutan sehingga mengakibatkan penuntutan yang dilakukan relatif lebih lama dan hambatan akibat adanya hierarkhi persetujuan tuntutan, di mana adanya keharusan untuk mengajukan rencana tuntutan kepada atasan, serta kurangnya koordinasi antara penegak hukum lain antara lain penyidik Pegawai Negeri Sipil, khususnya dengan pihak penyidik kepolisian. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana adalah dengan melakukan percepatan penyusunan rencana tuntutan, peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan dan peningkatan koordinasi dengan atasan dan penegak hukum lainnya, menghindari adanya birokrasi yang panjang dalam penuntutan dan peningkatan ketersediaan dana bagi penyelesaian perkara pidana.
Disarankan Kepada Jaksa Penuntut Umum selaku wakil dari Pemerintah agar dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara profesional, yang berarti mempunyai kematangan baik dalam teori hukum maupun prakteknya guna mewujudkan asas contante justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan) telah diiplementasikan didalam beberapa pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kepada pihak pimpinan di kejaksaan disarankan dapat mengupayakan untuk menghindari perpanjangan birokrasi dalam penanganan perkara pidana guna mewujud penegakan hukum tidak hanya menjadi ritual dari pekerja-pekerja hukum sehingga hanya berorientasi pada terwujudnya procedural justice yang cenderung memarginalkan substantial justice. Perlu dilakukan upaya untuk rekonstruksi birokrasi kejaksaan dengan menggunakan pendekatan hukurn guna membebaskan aparatur kejaksaan dari birokrasi yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat penanganan perkara tennasuk dengan melakukan perubahan terhadap ketentuan penyusunan rencana penuntutan melalui suatu substansi hukum.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.