SINKRONISASI PEMBUKTIAN TERBALIK ANTARA UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (T000314)
Pada Pasal 3 7A ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa "Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan". Sementara Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa "Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan basil tindak pidana". Kedua Undang-Undang tersebut mengatur mengenai pembuktian terbalik, namun dalam asas pembuktian terbalik ini ketentuan tersebut menyimpangi asas praduga tak bersalah, karena hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk menjelaskan sinkronisasi pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menjelaskan kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pernbuktian terbalik di dalam kedua Undang-Undang tersebut, serta menjelaskan kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Dengan sumber data adalah bahan hukum primer, sekunder dan testier. Pembahasan (analisis) dengan cara mengaitkan data terhadap teori-teori, maupun ketentuan-ketentuan dalam pembuktian terbalik dan asas praduga tak bersalah. Metode pengumpulan data dengan menggunakan data kepustakaan dan data lapangan. Kedua data tersebut diolah untuk di analisis secara deskriptif kualitatif melalui beberapa tahapan.
Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa sinkronisasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 20 10 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pernbuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua Undang-Undang tersebut. Kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tinda.k Pidana Pencucian Uang yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan, sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu pembuktian terbalik pada kedua undang-undang ini mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa bukan dari hasil tindak pidana, Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembulctian, pembebanan pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM).
Disarankan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, di mana dapat kita Iihat khususnya mengenai pengaturan beban pembuktian belum diatur mengenai pembuktian terbalik di dalam ketentuan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas. Di harapkan pembuktian terbalik dapat menjadi penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law enforcement. Di sarankan ke de pan agar dibentuknya peraturan khusus hukum acara terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sehingga dalam proses persidangan tidak bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.