PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENETAPAN DISKRESI OLEH PEJABAT PEMERINTAH DALAM KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016) (T000760)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENETAPAN DISKRESI OLEH PEJABAT PEMERINTAH DALAM KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016) (T000760)
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
2021
02-07-2021
Indonesia
Banda Aceh
Judicial discretion, Criminal liability, Hukum pidana-Diskresi
Diskresi, Pertanggungjawaban pidana
Tesis
S2 Ilmu Hukum
Hukum Pidana (S2)
Ya
Ya

Pejabat pemerintah dalam menjalankan tugas kewenangannya diberikan hak khusus dalam menetapkan diskresi, di mana penetapan diskresi dilakukan atas dasar belum adanya aturan hukum yang mengatur suatu peristiwa hukum. Diskresi juga digunakan sebagai payung hukum dalam melegalkan program pemerintah khususnya yang berkaitan dengan anggaran negara maupun daerah. Diskresi dalam peraturan perundang-undangan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di mana diskresi tersebut dapat ditentukan dengan kerangka acuannya menurut Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Namun, penetapan diskresi juga menimbulkan permasalahan hukum bagi pejabat pemerintah itu sendiri, yaitu adanya kekhawatiran akan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi. Walaupun permasalahan tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang telah membatalkan ketentuan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, di mana dalam implementasinya masih tetap menjadi kendala bagi pejabat pemerintah sendiri. Hal ini diakibatkan pejabat pemerintah cenderung dijerat pidana korupsi sebelum melaporkan pertanggungjawabannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan hukum terkait pertanggungjawaban hukum penetapan diskresi oleh pejabat pemerintah. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 terkait pertanggungjawaban hukum dalam penetapan diskresi oleh pejabat pemerintah. Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk pencegahan yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintahan dalam menerbitkan diskresi agar terhindar dari tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016.

Metode yang digunakan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan metode sejarah (historical approach) dan metode perbandingan (comparative approach). Dengan sumber data adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (penunjang). Data yang diperoleh, baik dari bahan hukum primer, sekunder, tersier, serta informasi dari para ahli, maka analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu analisis isi.

Hasil penelitian ini yaitu penetapan diskresi oleh pejabat pemerintah yang berkaitan dengan pendayagunaan anggaran negara maupun daerah, cenderung dimintai pertanggungjawabannya. Namun, keberadaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 cenderung merugikan pejabat pemerintah. Hal ini karena pejabat pemerintah dijerat dengan pidana korupsi walaupun masih dalam dugaan. Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 berkaitan dengan pengujian Pasal 2 maupun Pasal 3 UU Tipikor, memberikan penafsiran baru berkaitan dengan actual loss maupun potential loss terkait kerugian negara. Mahkamah Konstitusi berpendapat kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit dibuktikan secara tepat. Pencegahan tindak pidana korupsi akibat adanya diskresi pejabat pemerintahan diupayakan dengan cara koordinasi dengan baik antara lembaga pengawas maupun lembaga audit daerah/pusat atas diskresi anggaran yang telah diterbitkan. Pejabat pemerintahan harus menyelaraskan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penerbitan diskresi.

Disarankan kepada Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak serta merta berdasarkan undang-undang saja, hakim dapat menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Sehingga apabila dalam pembuktian unsur kerugian keuangan negara tindak pidana korupsi, mengenai unsur kerugian keuangan negara tidak terbukti secara nyata tetapi sudah cukup berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara maka hakim dapat mempertimbangkan berdasarkan fakta-fakta yang di persidangan sehingga tidak serta merta terdakwa bebas dari jeratan hukum apabila unsur lain telah terpenuhi dan terbukti. Disarankan dibentuk peraturan khusus yang mengatur mengenai sinkronisasi instansi atau lembaga yang berwenang menghitung dan mendeclare adanya kerugian keuangan negara tindak pidana korupsi. Pejabat pemerintahan disarankan agar secara kontinyue melaporkan penggunaan anggaran atas dasar ditetapkannya diskresi sebagai salah satu bentuk asas transparansi dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dan Bersih.

Kata kunci: Pertanggungjawaban Hukum, Diskresi, Pemerintah

edit_page


Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.