PENERAPAN PEMUFAKATAN JAHAT DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (T000591)

PENERAPAN PEMUFAKATAN JAHAT DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (T000591)
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
2018
15-09-2018
Indonesia
Banda Aceh
Narkotika dan kejahatan, Narcotics--Criminal provisions
Tindak pidana narkotika, Permufakatan jahat, Persekonggolan jahat, samenspanning
Tesis
S2 Ilmu Hukum
Hukum Pidana (S2)
Ya
-

Permufakatan jahat/samenspanning merupakan suatu kejahatan untuk melakukan suatu kejahatan, dapat dikatakan tindak pidana yang disepakati, dipersiapkan atau direncanakan tersebut belum terjadi. Dalam KUHP, percobaan dan permufakatan jahat hanya dihukum lebih ringan dari hukuman pokok. Namun berbeda dengan UUN pada saat ini yang menghukum sama dengan hukuman pokok pada delik selesai. Dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum di Indonesia menerapkan Pasal 132 ayat (1) UUN untuk menjerat pelaku tindak pidana selesai yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih. Karena permufakatan jahat yang didefinisikan Pasal 1 angka 18 UUN dianggap sebagai Lex Specialist dari Pasal 55 KUHP. Masalah pokok penelitian ialah (1) Apa sebab pemufakatan jahat dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika menggunakan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyalahgunaan Narkotika? (2) Apa konsekuwensinya terhadap tersangka dengan tidak menggunakan Undang-Undang Narkotika dalam hal pemufakatan jahat?

Penelitian dan pengkajian ini bertujuan, menemukan dan mengembangkan teori mengenai teori pertanggungjawaban pidana, teori penyertaan (deelneming), dan Azas-Azas Peraturan Perundang-Udangan.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif, yang mengkaji tentang keberlakuan, pelaksanaan, dan keberhasilan dalam pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Dengan sumber data adalah sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier (penunjang). Data yang diperoleh, baik dari bahan hukum primer, sekunder, tersier, serta informasi dari para ahli, maka analisis data dilakukan dengan pendekatan sosiologi yaitu analisis isi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertama, Dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum di Indonesia menerapkan dan menggunakan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika untuk menjerat pelaku tindak pidana selesai yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih (sebagaimana diuraikan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya). Hal ini tentunya, tidak sesuai dengan penengertian permufakatan jahat yang otentik. Karena pemufakatan jahat yang didefinisikan Pasal 1 angka 18 Undang-undang narkotika dianggap sebagai Lex Specialist dari Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Untuk menghindari batalnya surat dakwaan maka Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan surat dakwaan harus dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap menyesuaikan tindak pidana yang dilakukan. Maka dalam perumusan surat dakwaan yang seperti ini jelas menimbulkan keraguan baik terhadap terdakwa sendiri maupun terhadap hakim yang memeriksa perkara. Oleh karena itu, surat dakwaan yang berisi perumusan yang bertentangan isinya, dan jelas menimbulkan keraguan terutama bagi si terdakwa, surat dakwaan yang demikian harus dinyatakan batal demi hukum.

Disarankan agar hendaknya Jaksa Penutut Umum dalam membuat surat dakwaan harus secara teliti dan seksama untuk memenuhi syarat surat dakwaan agar surat dakwaan tidak terancam dengan kebatalan baik batal demi hukum (van rechtswege nietic atau null and void) ataupun dinyatakan batal. Serta perumusan surat dakwaan yang memenuhi syarat menjamin kepentingan hak tersangka untuk membela diri disamping Hukum Negara dan Penuntutan.

edit_page


Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.