STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI DKI JAKARTA NOMOR 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Pengurangan vonis pidana Pinangki dari 10 (sepuluh) tahun menjadi 4 (empat) tahun penjara dalam perkara tindak pidana korupsi menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat, sebab Pinangki selaku aparat penegak hukum terbukti melakukan tindak pidana korupsi (suap), tindak pidana pencucian uang, dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Penelitian ini akan menganalisis apakah pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI tepat dijadikan alasan untuk mengurangi pidana dan apakah vonis pidana dalam Putusan Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder, dan bahan hukum lainnya dilakukan melalui teknik studi pustaka atau studi dokumen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding tidak tepat dijadikan alasan yang meringankan pidana, karena 4 (empat) dari 5 (lima) alasan yang meringankan tersebut merupakan pertimbangan yang disepakati dan diambil alih dari Majelis Hakim Tingkat Pertama. Sayangnya, Majelis Hakim Tingkat Banding mempertimbangkan 4 (empat) alasan secara berbeda, sehingga pertimbangan tersebut kontradiktif dengan pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama, dan terkesan bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding tidak membaca utuh pertimbangan tersebut. Sedangkan 1 (satu) pertimbangan lain, yaitu Terdakwa seorang perempuan, tidak memiliki argumentasi yang memadai, karena prinsip pemidanaan bersifat netral gender. Pertimbangan berbasis gender, terbatas pada peran Terdakwa dalam keluarga baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Terakhir, vonis pemidanaan Pinangki tidak mencerminkan keadilan, karena dari berbagai pertimbangan, alasan memberatkan lebih banyak dari pada alasan yang meringankan. Vonis tersebut tidak pula mencerminkan kemanfaatan, karena menuai kritik dari berbagai kalangan, mulai dari ringannya putusan pidana Terdakwa, hingga eksekusi putusan yang tertunda. Sedangkan dari sisi kepastian hukum, pemidanaan terhadap gabungan perbuatan (Pasal 65 KUHP) hanya dikemukakan dalam pertimbangan saja, tapi tidak diterapkan.
Majelis Hakim dalam memutus perkara hendaknya memerhatikan pertimbangan yang sudah disepakati dan ambil alih, serta tidak menjadikan identitas gender perempuan sebagai alasan yang meringankan pidana.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.