KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA (DT00068)
Pengaturan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang pidana formil yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberikan kewenangan penyidikan kepada penyidik kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a dan b, maupun dalam Undang-Undang pidana materiil yakni Undang-Undang No 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dinyatakan Pasal 6 huruf e; KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Pengkajian dan penelitian ini bertujuan menemukan konsep pemberantasan korupsi terkhusus ranah penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang spesifik dalam ranah penyidikan tindak pidana korupsi mengacu pada prinsip-prinsip keadilan sejalan prinsip-prinsip rule of law. Selanjutnya penelitian ini menganalisis konsep-konsep pembentukan kewenangan penyidikan pada tataran ius constitutum, mengkaji kesesuaian antara das sollen dan das sein serta menela’ah indikasi tumpang tindih dan over lapping peraturan perundangan yang berimplikasi pada konflik antar lembaga penegak hukum pada tataran normatif maupun implementasinya, serta mengurai solusi permasalahan guna menemukan konsep hukum terbaik dalam pemberantasan korupsi dimasa depan (ius constituendum).
Tipologi penelitian yuridis normatif yang digunakan pada penelitian ini dilakukan dengan menganilisis data sekunder dibidang hukum yang melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier melalui riset kepustakaan (library research), dengan menela’ah buku-buku, disertasi, jurnal serta menganalisis ajaran-ajaran, doktrin serta filosofi hukum terkait kewenangan penyidikan oleh beberapa lembaga ataupun organ penyidikan yang ada di Indonesia. Analisis dalam penulisan ini dilakukan secara kualitatif yaitu suatu analisis yang menghasilkan data deskriptif baik berupa ujaran lisan maupun tulisan dan tidak dilakukan dengan perhitungan statistik maupun bentuk perhitungan lainnya dengan tekhnik pengumpulan data melalui triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian yang lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosep pembentukan kewenangan pemberantasan korupsi belum fokus pada kemandirian sub system peradilan pidana yang sejalan dengan kaidah check and balance. Dalam system perundangan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi termanifestasi secara terang didalam KUHAP, UU Kepolisian dan UU KPK, sementara UU No 11 tahun 2021 Pasal 35 huruf “g” dan “h” patut dievaluasi kembali atau dipertegas kepastian hukumnya oleh Pembentuk Undang- Undang, mengenai berwenang atau tidaknya pelaksanaan penyidikan tipikor oleh Kejaksaan karena didalam norma Pasal 35 UU No 11 tahun 2021 tersebut justru membahas kewenangan penyidikan tindak pidana pelanggaran HAM berat yang dapat disidang melalui pengadilan koneksitas dimana jaksa berperan sebagai penyidik dalam sistem peradilan tersebut. Pembentuk Undang-undang seharusnya mentaati kaidah dalam pembentukan kewenangan materiil untuk penindakan tindak pidana korupsi dalam sistem perundang-undangan Indonesia, karena keberlakuan asas perundangan pidana tidak mengakomodir analogi ataupun pengqiyasan hukum terhadap Pasal- pasal dalam perundang-undangan (tidak dapat dipidana suatu perbuatan tanpa adanya undang-undang konkrit yang telah mengatur sebelumnya) oleh karena tidak dapat dipidana seseorang tanpa adanya undang-undang yang terlebih dahulu merumuskan bahwa perbuatan tersebut mengandung unsur pidana, segala peraturan dan pasal-pasal yang memberikan kewenangan pidana kepada suatu organ penegakan hukum harus dinyatakan dengan terang dan jelas serta tidak dapat dimultitafsirkan. Idealnya untuk mempertahankan sistem kontrol dan pengawasan antar subsitem dalam integrated criminal justice system maka setiap susbsistem seharusnya fokus melaksanakan perannya masing-masing tanpa mencampur adukkan peran penyidikan, penuntutan, vonis maupun pembinaan terpidana, hal ini penting untuk menjaga eksistensi hukum acara pidana Indonesia dan sejalan dengan itu penegakan hukum juga harus menjamin hak asasi orang yang padanya diduga melakukan tindak pidana.
Disarankan dalam ius konstituendum pembentukan Undang-undang terkait kewenangan penyidikan korupsi menyelaraskan logika, Bahasa, makna serta norma hukum, antara sebuah norma perundang-undangan positif dengan norma perundangan positif lainnya, sehingga tidak menciptakan benturan makna maupun penafsiran yang dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan berekses pada gesekan antara lembaga penegak hukum yang menurunkan wibawa hukum dan wibawa pemerintahan. Selanjutnya agar penerapan asas akusatur dalam implementasi pemberantasan korupsi untuk menjamin terpenuhinya hak asasi para subjek hukum yang telah diatur UUD 1945 dan KUHAP. Selanjutnya penting pembentukan Undang-undang menghapus Pasal-pasal bermakna ganda dan mengganti dengan Pasal-pasal konkrit yang memberi kepastian hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.