PENYITAAN DAN PERAMPASAN ASET TERPIDANA KORUPSI MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA (DT00070)
Tindak pidana korupsi di negara Indonesia sepertinya Tindakan aksi kejahatan yang abnormal atau luar biasa, karena korban yang diakibatkan oleh korupsi adalah sangat masif, karena kerugian negara yang dihasilkan oleh pelaku korupsi oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP bahwa penyitaan aset hanya dapat dilakukan terhadap benda yang terkaitnya dengan tindak pidana, sedangkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU-PTPK menyebutkan Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penegasan tersebut untuk memberikan efek jera dan segera mengembalikan atau memulihkan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, namun upaya mengambil kembali aset hasil tindak pidana pada umumnya hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh Pengadilan telah dinyatakan terbukti secara sah dan melakukan tindak pidana, hal ini memungkinkan aset tersebut berpindah tangan sebelum putusan pengadilan. Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga belum mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset, dengan secepatnya disahkannya undang-undang tersebut diharapkan dapat menjembatani norma illicit enrichment yang telah diatur di dalam UNCAC.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, menjelaskan dan menganalisis konsep hukum tentang penyitaan dan perampasan aset terpidana tindak pidana korupsi; Perlu juga mengkaji, mengungkapkan dan menganalisis perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi melalui jalur peradilan; menjelaskan dan menganalisis perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi yang sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan pada perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan perbandingan yang dilakukan melalui studi kepustakaan, untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer berupa UUD 1945, perundang- undangan lainnya, dan putusan hakim. Bahan hukum sekunder berupa pendapat pakar hukum, melalui buku teks, jurnal, artikel, hasil penelitian terdahulu, makalah lokakarya, seminar, simposium, diskusi, majalah/ koran, tesis, disertasi, dan bahan-bahan lain yang ada hubungannya dengan objek penelitian ini. Bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedia, bibliografi dan kamus yang relevan. Penelitian lapangan dilakukan untuk melengkapi data kepustakaan.
Hasil penelitian ini adalah pertama, konsep hukum tentang penyitaan dan perampasan aset terpidana tindak pidana korupsi didasarkan pada upaya hukum untuk mencegah dan memerangi tindak pidana korupsi dan untuk mengambil alih dengan mengembalikan aset yang diperoleh secara illegal dari tindak pidana korupsi. Kedua, perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi melalui jalur peradilan merupakan langkah hukum yang dilakukan dalam rangka mengambil alih dan mengembalikan aset yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi, dan telah mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang relevan serta menghormati hah-hak individu dalam proses peradilan. Ketiga, instrumen hukum yang tepat dalam perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi sebagai pidana tambahan dalam penjatuhan pidana. harus melalui tahapan a) Penelusuran aset hasil korupsi yang dilakukan pada tahap penyelidikan guna mengetahui besaran harta hasil korupsi yang berada dalam penguasaan tersangka, untuk menetapkan besaran uang pengganti dalam tuntutan maupun putusan pidananya yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang dinikmati terdakwa, b) Instrumen penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengedepankan kebenaran materiil dalam pengungkapan aset pelaku tindak pidana korupsi di depan persidangan dengan memasukkan dalam tuntutan pidana, c) Instrumen perdata, di mana Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri lalu meminta hakim mengeluarkan penetapan sita eksekusi atas aset-aset pelaku tindak pidana korupsi.
Saran, pertama agar pemerintah yang terdiri dari eksekutif dan legislatif secepatnya mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset menjadi undang-undang sehingga dapat memidana pelaku korupsi. Kedua, penegak hukum hendaknya tidak hanya memanfaatkan jalur pidana namun juga lebih mengembangkan pemanfaatan jalur perdata sebagai alat untuk merampas aset hasil korupsi di mana bukan hanya dapat dijadikan sebagai hukuman atau efek jera terhadap pelaku tetapi juga dapat dijadikan sebagai pembelajaran. Ketiga, guna bisa menjangkau aset lain yang diduga kuat sebagai hasil korupsi, pemerintah harus menyiapkan rancangan undang-undang tentang perampasan aset dengan tujuan agar pemberantasan korupsi lebih efektif dan tidak berhenti hanya pada pemidanaan pelakunya; dan Keempat, dalam pemberantasan korupsi, pada praktiknya aparat penegak hukum seringkali menemui kendala yang pelakunya melarikan diri keluar negeri, di mana negara dibutuhkan adanya perjanjian ekstradisi antara negara Indonesia dengan negara tujuan.
Kata kunci: Penyitaan, Perampasan Aset, Terpidana Korupsi, menurut Sistem Hukum Indonesia.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.