PLURALISME HUKUM PENGUASAAN TANAH (KASUS TANAH BLANG PADANG)
Silang pendapat mengenai status tanah Blang Padang berhubungan dengan penguasaan tanah telah berlangsung lama. Di satu sisi, ada ketidakpastian status penguasaan tanah Blang Padang sejak berdiri Kodam IM tahun 2003 di antara institusi Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh, Kodam IM, dan Yayasan Masjid Raya Baiturahman. Masing-masing pihak memandang memiliki dasar dan bukti untuk menguasai tanah tersebut. Di sisi lain, upaya penyelesaian silang pendapat dan sengketa penguasaan tanah Blang Padang belum ada tindak lanjut nyata secara hukum. Proses mediasi yang dilakukan para pihak selama ini tidak juga membawa-serta implikasi sebesar-besarnya kemakmuran, khusus bagi masyarakat Aceh sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan apa saja faktor-faktor yang telah menyebabkan ketidakpastian status hukum penguasaan tanah Blang Padang. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan menggambarkan model penguasaan tanah oleh institusi-institusi sentralistik, satuan-satuan daerah khusus, dan masyarakat hukum adat yang memenuhi dimensi pluralitas hukum sesuai dengan ketetentuan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3), pasal 18B ayat (1) dan pasal 18B ayat (2).
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Desain studi kasus merupakan salah satu desain penelitian dalam pendekatan kualitatif atau disebut juga paradigma konstruktivis. Itu merupakan suatu desain penyelidikan, di mana peneliti mengembangkan analisis mendalam dari suatu kasus, seringkali kasus itu suatu program, peristiwa, kegiatan, proses, atau satu atau lebih individu. Dalam hal ini, kasus Blang Padang dibatasi pada periode dan aktivitas.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakpastian penguasaan tanah pada institusi sentralistik, satuan daerah otonom, dan kesatuan masyarakat adat. Ketidakpastian tersebut mewujud dalam sikap dan alasan institusi-institusi tersebut dalam memperebutkan tanah Blang Padang. Ada juga ketidakpastian dalam arti ketidakjelasan dan ketidaksinkronan masing-masing norma dalam sistem-sistem hukum yang diakui oleh masyarakat
Disarankan kepada institusi sentralistik, satuan daerah otonom, dan kesatuan masyarakat adat untuk membuat suatu model penguasaan tanah yang responsif dan aspiratif di mana norma-norma dengan sistem hukum yang plural terwujud dalam kehidupan bernegara serta memperoleh kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.