TINJAUAN YURIDIS PIDANA MATI PADA DELIK TERTINGGAL DALAM KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang pada ayat (2) terdapat penjatuhan hukuman mati yang memungkinkan terdakwa dijatuhi hukuman mati jika narkotika golongan I beratnya sudah melebihi 1 (satu) kilogram. Penjatuhan hukuman pada delik tertinggal masih terjadi penjatuhan hukuman yang sama pada putusan yang berbeda akibat diadili secara terpisah. Sehingga ada orang dipidana mati lebih dari 1 (satu) kali sehingga tidak ada kepastian hukum.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan pada kasus perbarengan perbuatan dilakukan secara terpisah terhadap penyelesaian dan penjatuhan pidana mati pada delik tertinggal yang terjadi pada kasus tindak pidana narkotika. Serta pengaturan pidana mati dalam hukum pidana, pengaturan delik tertinggal dalam surat tuntutan penuntut umum, dan penyelesaian atau upaya dari aparat penegak hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian jenis yuridis normatif. Data dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yang didapatkan dari UndangUndang, peraturan, dan Putusan Pengadilan. Bahan hukum sekunder yang didapatkan dari penelitian kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku teks, tesis, skripsi, dan jurnal. Serta bahan hukum tersier yaitu wawancara kepada para Narasumber.
Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa pengaturan pidana mati dalam hukum pidana pada pemberian pidana mati terdapat pada peraturan perundangundangan
Indonesia, memiliki ancaman atau sanksi dalam bentuk pidana yang tercantum dalam beberapa Undang-Undang. Peraturan delik tertinggal dalam surat tuntutan penuntut umum terhadap tindak pidana narkotika ialah regulasi atau standar operasional peraturan dari Jaksa Agung terhadap delik tertinggal dalam surat tuntutan penuntut umum. Penyelesaian permasalahan atau upaya yang diberikan aparat penegak hukum yaitu memiliki persepsi antara penegak hukum, agar aparatur penegak hukum memiliki sistem peradilan operasional, agar paradigma penanganan narkotika mengedepankan concursus atau perbarengan, dan pemberian pidana nihil.
Disarankan kepada aparat penegak hukum dalam penerapan perbarengan perbuatan pidana (concursus) dapat dilakukan secara konsisten sehingga pelaku memperoleh keadilan yang seadil-adilnya, kedepannya dalam penerapan Pasal 65 KUHP perlu kebijakan dari penegak hukum pidana dalam membuat peraturan bersama dan bentuk peraturan pelaksanaan yang tegas sehingga tidak terjadi multitafsir, dan membuat atau melakukan bimbingan teknis terhadap penyelesaian delik tertinggal.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.