PEMENUHAN RESTITUSI TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL MENURUT QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2019 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Restitusi ialah sejumlah uang atau harta tertentu, yang wajib dibayarkan oleh pelaku Jarimah, keluarganya, atau pihak ketiga berdasarkan perintah hakim kepada korban atau keluarganya, untuk penderitaan, kehilangan harta tertentu, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Restitusi merupakan salah satu Uqubat Ta’zir Utama sebagaimana dalam Pasal 4 Ayat (4) huruf d Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat . Pasal 51 Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat mengatur dalam hal ada permintaan korban, setiap orang yang dikenakan ‘Uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dapat dikenakan ‘Uqubat Restitusi paling banyak 750 (tujuh ratus lima puluh) gram emas murni. Pelaksanaan restitusi diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 Qanun Aceh No.9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Namun dalam praktiknya putusan yang terdapat hukuman restitusi tidak dapat dilaksanakan oleh terpidana sehingga hal tersebut menimbulkan ketidapastian hukum bagi korban kekerasan seksual.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pemenuhan restitusi berdasarkan Qanun Aceh No. 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, untuk mengkaji dan menganalisis tanggung jawab pelaku kekerasan seksual dalam hal kewajibannya membayar restitusi kepada anak korban kekerasan seksual dan konsekuensi hukum bagi terdakwa yang tidak mampu memenuhi restitusi terhadap anak korban seksual, untuk mengkaji dan menganalisis peran dan tanggung jawab Baitul Mal dalam hal pemberian kompensasi sebagai ganti restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual yang tidak dapat dipenuhi pelaku.
Metode penelitian menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik telaah putusan hakim dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya data diolah dan dianalisa dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terpidana tidak memiliki kamampuan secara finansial untuk membayarkan restitusi. Konsekuensi hukum bagi terpidana yang tidak mampu membayar restitusi berdasarkan Qanun Aceh Nomor Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak adalah dilakukan perampasan terhadap harta kekayaan terpidana, jika terpidana tidak memiliki kemampuan secara finansial maka Pemerintah Aceh menunjuk Baitul Mal. Terhadap permasalahan tersebut secara hukum tidak ada pidana pengganti bagi terpidana yang tidak mampu membayar restitusi. Baitul Mal sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah Aceh untuk membayarkan kompensasi bagi terpidana yang tidak memiliki kemampuan secara finansial juga tidak memiliki anggaran khusus, sehingga berakibat tidak terlaksananya putusan hakim berkaitan dengan pemenuhan restitusi terhadap korban kekerasan seksual.
Disarankan kepada kejaksaan untuk melakukan Asset Tracing terhadap terpidana yang melakukan kekerasan seksual, Disarankan kepada hakim agar mengakomodir hukuman subsidair pidan penjara dalam putusan terhadap terpidana yang tidak memiliki kemampuan secara finansial setelah dilakukan asset tracing. Disarankan kepada Baitul Mal untuk menyediakan anggaran khusus bagi terpidana yang tidak memiliki kemampuan secara finansial untuk membayarkan kompensasi. Pihak Baitul Mal juga harus melakukan koordinasi dengan pemerintah Aceh agar dapat dikeluarkan Pergub Aceh berkaitan dengan pelaksanaan teknis pembayaran restitusi bagi terpidana yang tidak memiliki kemampuan secara finansial dan pengkajian ulang terhadap Qanun agar terdapat uqubat pengganti bagi terpidana yang tidak mampu membayar restitusi.
Kata Kunci: Pemenuhan, Restitusi, Qanun Aceh No.9 Tahun 2019
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.