PENERAPAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU LANJUT USIA DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau tergangu karena sakit. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya putusan hakim yang tidak menjadikan kondisi lanjut usia yang sakit kedalam pertimbangannya. Dalam hal penjatuhan pidana penjara haruslah benar-benar mempertimbangkan aspek keadilan dengan memperhatikan keadaan pelaku khususnya terhadap seorang lanjut usia. Bahwa Lanjut Usia adalah tahap akhir perkembangan dalam kehidupan manusia yang ditandai dengan gagalnya seseorang untuk mempertahankan kesimbangan kesehatannya. Oleh karena itu, kondisi terdakwa seorang lanjut usia harus dipertimbangkan untuk dijatuhi pidana penjara, akan tetapi aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan kondisi seorang lanjut usia dalam melakukan tuntuan dan putusan.
Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan pemberian sanksi pidana penjara terhadap orang lanjut usia tidak bertentangan dengan prinsip keadilan, untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam putusan tindak pidana yang dilakukan oleh lanjut usia, menganalisis apakah kondisi fisik seorang lanjut usia dapat dijadikan alasan untuk meringankan seorang terdakwa.
Tesis menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif, yaitu yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dari analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan maupun pendapat para pakar hukum tersebut yang mengatur terhadap masalah yang akan dikaji. Tesis ini mengunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kasus (case apporach) dan pendekatan perundang-undangan (statute apporach).
Pemberian sanksi pidana penjara terhadap orang lanjut usia bertentangan dengan prinsip keadilan hal tersebut dikarenakan seorang lanjut usia merupakan seorang dengan tahap akhir perkembangan kehidupan manusia dan ditandai dengan gagalnya seseorang untuk mempertahankan keseimbangan kesehatan, dan kondisi stres fisiologisnya sehingga pidana penjara tidak sesuai dengan prinsip keadilan apabila diterapkan kepada seorang lanjut usia. Dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”, namun secara eksplisit atau jelas belum mengakomodir faktor lanjut usia sebagai keadaan yang dimaksud dalam pasal tersebut. Hakim hendaknya mempertimbangkan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan bersyarat atau biasa disebut pidana percobaan apabila Jaksa Penuntut Umum menuntut dengan hukum 1 (satu) tahun penjara, atau mempertimbangkan untuk memberikan pidana maksimal 2/3 apabila terdakwa lanjut usia diancam dengan ketentuan pidana yang ancaman pidananya 5 tahun keatas, yang dikecualikan adalah tindak pidana asusila, narkotika, dan korupsi yang sifatnya melanggar ketertiban umum. Ketiga, Kondisi fisik seseorang lanjut usia dapat dijadikan pertimbangan untuk meringankan seorang terdakwa selama dapat dibuktikan dengan rekam medis yang dikeluarkan oleh dokter, yang pada pokoknya menerangkan kondisi fisik maupun jiwa seorang terdakwa lanjut usia. Hakim dapat memperoleh kondisi fisik lanjut usia ini dari rumah sakit terdekat dengan wilayah kerjanya dengan cara memerintahkan penuntut umum untuk memeriksa kondisi dari pada terdakwa lanjut usia tersebut. Seharusnya faktor lanjut usia tidak hanya dijadikan sebagai faktor non yuridis saja akan tetapi dirumuskan juga secara yuridis sebagai faktor yang meringankan dalam pemidanaan sebagai pedoman pertimbangan hakim dalam pemidanaan. Hakim harus benar-benar telah mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat dengan mempertimbangkan unsur objektif terdakwa. Hakim dalam pengambilan putusan tidak bisa hanya berdasarkan pada apa yang dirumuskan dalam undang-undang saja (formil), melainkan juga harus melihat hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat (materil) dan berangkat dari Pasal 44 KUHP membahas tentang ketidakmampuan bertanggungjawab pelaku karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Dalam hal tersebut harus ada hubungan kausal antara penyakit yang diderita dengan perbuatan yang dilakukan, maka sudah sepantasnya kondisi seorang lanjut usia dapat dijadikan alasan yang meringankan terdakwa.
Faktor lanjut usia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Peraturan Hukum pidana, tidak hanya menjadikan faktor lanjut usia sebagai penghindar dari pidana penjara saja, akan tetapi juga memasukan faktor lanjut usia sebagai hal yang meringankan ke dalam 56 pedoman pemidanaan hakim dalam penjatuhan putusan pengadilan. Akan tetapi untuk menghindari adanya keterbatasan pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap terdakwa lanjut usia yang melakukan tindak pidana dengan pemberatan, maka dalam pernyataan lanjut usia sebagai pedoman pemidanaan dalam hal yang meringankan harus disertai dengan ketentuan-ketentuan khusus diantaranya pertama, Terdakwa lanjut usia adalah seorang yang berusia 60 tahun keatas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia); kedua, Terdakwa lanjut usia tergolong lanjut usia tidak potensial dan ketiga Terdakwa lanjut usia dalam keadaan sakit ataupun mempunyai riwayat sakit keras.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Lanjut Usia, Keadilan.
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.