POLITIK HUKUM INDONESIA TERHADAP RATIFIKASI KONVENSI RANJAU DARAT ANTIPERSONEL 1997 (DT00079)
Indonesia adalah negara pihak konvensi ranjau darat antipersonel 1997 karena telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006. Sejumlah langkah inisiatif telah dilaporkan Indonesia pada tahun-tahun pertama pasca ratifikasi sesuai artikel 7 konvensi. Namun belum diketahui secara pasti mengenai langkah yang dilakukan pemerintah guna menuntaskan tanggungjawabnya yang masih tersisa sebagaimana termaktub di dalam artikel 1 sampai dengan 5 konvensi. Data terakhir menunjukkan absennya pemerintah dalam menjalankan mekanisme sesuai mandat konvensi yang menyebabkan jatuhnya korban ranjau dan masih ditemukannya benda tersebut pasca konflik bersenjata seperti di Aceh. Saat ini pun pemerintah kembali dihadapkan pada situasi konflik bersenjata dalam negeri di Papua yang nyaris serupa. Untuk menengahi persoalan tersebut diperoleh tiga rangkuman permasalahan penelitian yang diajukan yaitu: Pertama, Mengapa Indonesia meratifikasi konvensi ranjau darat antipersonel 1997?; Kedua, Apakah Indonesia memiliki keinginan dan kemampuan memenuhi seluruh isi konvensi?; dan Ketiga, Apakah Indonesia telah berkonstribusi terhadap pembentukan norma konstitutif hukum kebiasaan internasional melalui larangan penggunaan ranjau darat antipersonel?
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis kepentingan Indonesia meratifikasi konvensi ranjau darat antipersonel 1997. Kemudian komitmen Indonesia dalam memenuhi tanggungjawabnya sebagai negara pihak konvensi, dan andil Indonesia terhadap opinio juris hukum kebiasaan internasional melalui pelarangan penggunaan ranjau darat antipersonel.
Data penelitian dikaji dan diulas menggunakan metode yuridis-normatif. Pendekatan doktrinal ini menekankan studi kepustakaan (library research). Dimana data sekunder menjadi data sandingan utama yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Untuk selanjutnya, di analisis secara kualitatif dengan uraian-uraian berbentuk deskriptif analitis serta preskriptif.
Hasil kajian menunjukkan bahwa melalui ratifikasi konvensi ranjau darat antipersonel 1997, Indonesia dinilai mampu melaksanakan tanggungjawabnya dalam rangka memenuhi agenda penghormatan HAM dan Hukum Humaniter Internasional. Penilaian tersebut memiliki dampak positif terhadap keberlanjutan berbagai kerjasama internasional yang telah dirintisnya. Walaupun Indonesia belum mencanangkan program demining ranjau darat secara masif dan sejumlah tanggungjawab yang masih tersisa untuk dituntaskan. Pada kenyataannya alasan- alasan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa Indonesia dianggap sudah tidak ingin dan tidak mampu untuk memenuhi tanggungjawab hukum internasionalnya itu. Indonesia telah berkonstribusi terhadap opinio juris hukum kebiasaan internasional bidang perlucutan senjata. Sebagaimana ditunjukkan melalui pengaturan bab khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 hasil amandemen serta peraturan domestik lainnya berkenaan bidang penelitian ini. Demikian jika merujuk kepada aliran konstruktivis.
Disarankan agar Pemerintah Republik Indonesia segera menuntaskan rencana aksi nasional melalui program demining ranjau darat secara nasional. Program tersebut dapat menjadikan Aceh sebagai proyek percontohan. Selain berfungsi strategis, langkah ini mempunyai efek ganda yaitu terjaganya citra Indonesia dimata internasional sehingga dianggap masih berkeinginan dan mampu memenuhi kewajiban yang diatur konvensi. Sekaligus menunjukkan andil negara terhadap eksistensi hukum kebiasaan internasional terhadap larangan penggunaan ranjau darat antipersonel di panggung dunia.
Kata Kunci: Konvensi ranjau darat antipersonel, Tanggung Jawab Negara, Hukum Internasional
edit_page
Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login.